M. HASAN SALIMIN
Minggu, 23 Oktober 2016
Sabtu, 04 April 2015
Contoh Soal
1.
Usia 112 orang yang tinggal di daerah Gurun Pasir dikelompokkan
sebagai berikut :
Usia
|
Frekuensi (F)
|
0-9
10-19
20-29
30-39
40-49
50-59
60-69
70-79
80-89
|
20
21
23
16
11
10
7
3
1
|
Hitunglah
:
a. Panjang Kelas
b.
Banyak Kelas
c.
Mean (Rata-rata) Usia orang yang hidup di daerah Gurun
Pasir tersebut
d.
Mediannya
e.
Modusnya
2.
Sebanyak 26 Siswa terpilih sebagai sampel dalam
penelitian kesehatan di sebuah SMK Kesehatan di Cianjur. Siswa yang terpilih tersebut
diukur berat badannya. Hasil pengukuran berat badan disajikan dalam bentuk data
berkelompok seperti di bawah ini.
Berat Badan (Kg)
|
Frekuensi (F)
|
46-50
51-55
56-60
61-65
66-70
71-75
76-80
81-85
|
3
2
4
5
6
4
1
1
|
Hitunglah
Median, Q1, Q2, Q3 dan Modus Berat Badan Siswa
dari tabel di atas!
Self Efficacy
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tujuan pendidikan secara umum adalah
menghasilkan manusia yang mampu mandiri secara intelektual. Kemandirian secara intelektual
dapat terjadi melalui prises pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu proses
pengorganisasian kegiatan belajar yang merupakan upaya pendidik untuk membantu
peserta didik melakukan kegiatan belajar sehingga diperoleh hasil belajar yang
diinginkan. Dimyati dan Mudjiono (2002: 157), mengatakan: “pembelajaran adalah
proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar
bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan
sikap-sikap.
Setiap sekolah menghendaki siswanya
belajar dengan optimal untuk mencapai prestasi yang tinggi. Tuntutan belajar
tersebut mengharuskan siswa untuk belajar lebih mandiri, disiplin dalam
mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang lebih terarah dan
intensif sehingga memungkinkan siswa tampil produktif, kreatif, dan inovatif.
Bekal utama yang dibutuhkan siswa untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut adalah memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk mengatur kegiatan belajar, mengontrol perilaku belajar dan
mengetahui tujuan, arah, serta sumber-sumber yang mendukung untuk belajarnya.
Fenomena yang teramati di sejumlah sekolah menunjukkan bahwa para siswa
nampaknya masih belum menghayati budaya belajar di sekolah dan belum dapat
menyesuaikan diri dengan kehidupan sekolah. Bahkan mereka beranggapan
ketidakhadiran guru sebagai suatu hal yang sangat menyenangkan.
Banyak diantara siswa memperoleh
prestasi rendah, kurang sesuai dengan harapan. Kebiasaan belajar siswa seperti
itu tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, harus diatasi dan
diubah ke arah yang lebih baik agar menghasilkan lulusan yang mampu belajar
secara mandiri, mampu mengatur tingkah lakunya secara dinamis dan fleksibel
dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya. Masalah belajar adalah
masalah keyakinan diri, untuk itu siswa membutuhkan keyakinan diri self-efficacy.
Gambaran
mengenai peranan self efficacy. Ketika siswa mengalami situasi yang tidak
menyenangkan, maka keyakinan akan kemampuannya untuk mengorganisir dan
mengontrol penggunaan kemampuannya, khususnya dalam keterampilannya pada mata
pelajaran matematika dapat digunakan sebagai motivator, sehingga siswa akan
memperbesar usahanya agar dapat mencapai prestasi seperti yang diharapkannya.
Semakin tinggi self-efficacy yang di miliki individu, maka akan semakin tinggi
pula motivasi individu tersebut untuk memperbesar usahanya agar mencapai hasil
yang lebih optimal.
Self-efficacy sendiri, seperti yang
disimpulkan dari pendapat Bandura pada tahun 1981 (Pajares&Schunk, 2001 :1)
adalah penilaian seseorang terhadap kemampuannya dalam mengorganisir,
mengontrol, dan melaksanakan serangkaian tingkah laku untuk mencapai suatu
hasil yang diinginkan. Tapi di Indonesia sendiri, banyak di antara para
pendidik, khususnya dibidang matematika belum sadar bahkan belum mengetahui
fakta bahwa salah satu aspek psikologi yang dinamakan self efficacy ini dapat
mempengaruhi pencapaian prestasi seorang siswa. Semakin
tinggi self efficacy yang dimiliki seorang siswa, maka akan semakin baik
prestasi yang mampu dicapainya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah self
efficacy yang dimiliki seorang siswa, maka akan semakin rendah pula prestasi yang
mampu dicapai siswa tersebut.
Hasil penelitian yang dilakukan Betz dan
Hacket pada tahun 1983 (Pajares, 2002:11) melaporkan bahwa dengan self efficacy
yang tinggi, maka pada umumnya seorang siswa akan lebih mudah dan berhasil
melampaui latihan-latihan matematika yang di berikan kepadanya, sehingga hasil
akhir dari pembelajaran tersebut yang tercermin dalam prestasi akademiknya juga
cenderung akan lebih tinggi di bandingkan siswa yang memiliki self efficacy
rendah. Selain itu menurut Hacket di tahun 1985 dan Reyes tahun 1984 (Pajares,
2002:10) self efficacy juga dapat membuat seseorang lebih mudah dan lebih
merasa mampu untuk mengerjakan soal-soal matematika yang dihadapinya, bahkan
soal matematika yang lebih rumit atau spesifik sekalipun.
Penelitian
mengenai self efficacy di bidang matematika sudah dilakukan oleh beberapa ahli.
Diantara pada tahun 1982 oleh Colin (Bandura, 1997 :214) dalam penelitian yang
menyeleksi anak-anak sekolah yang menilai diri mereka masuk kedalam efficacy
tinggi dan efficacy rendah dalam tiap level kemampuan matematika.
Self-efficacy dibutuhkan siswa agar mereka mampu meyakinkan dirinya sendiri untuk mampu menyesuaikan, mengorganisasi, terutama bila menghadapi tugas-tugas
yang sulit. Sehingga penulis tertarik untuk membahas tentang Self-efficacy.
B.
Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini,
maka penulis merumuskan masalah yang
akan dibahas diantaranya:
1. Apa itu self efficacy ?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi self
efficacy?
3. Bagaimana karakteristik individu yang
memiliki keterampilan self-efficacy?
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini, yaitu penulis ingin mengetahui:
1.
Apa itu self efficacy ?
2.
Apa faktor-faktor yang
mempengaruhi self efficacy?
3. Bagaimana
karakteristik individu yang
memiliki keterampilan self-efficacy?
D.
Metode Penulisan
Dalam
penyelesaian penyusunan makalah ini
penulis menggunakan studi kepusakaan, yaitu penulis mencari buku-buku yang
berhubungan dengan materi Guru, Pengajaran, Psikologi Pendidikan dan mencari
bahan lainnya di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Self-efficacy
Selama tahun 1980-an, para
ahli pendidikan menggeser minat kajian mereka dalam memandang motivasi dalam
proses kognitif dan pemrosesan informasi pada fungsi manusia. Pergeseran ini merupakan
“revolusi kognitif” yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi pembelajaran dan
kehadiran komputer, yang melayaninya sebagai metafora gerakan signatura dan
model/bentuk akal/intelegensi.
Dewasa ini, konsep bangunan
persepsi diri yang baik dalam individu masuk dalam kontroversi self-esteem
yang menjadi subjek dialog yang mendalam dan disertai banyak perdebatan.
Bersamaan dengan itu, isu-isu penting yang menonjol dalam psikologi pendidikan
telah memberi tanda perubahan dalam fokusnya seperti fungsi manusia (human
functioning), dan self-beliefs pebelajar yang sekali lagi menjadi
subjek penelitian dalam motivasi proses kognitif pada perilaku di dunia
akademik. Perubahan itu dipandang telah sukses setelah melalui analisis
pernyataan pengetahuan yang terkait dengan teori dan prinsip motivasi akademik
sebagaimana dideskripsikan oleh Graham dan Weiner pada Handbook of Educational
Psychology tahun 1996. Mereka mengamati bahwa the self is on the verge of
dominating the field of motivation. Dalam beberapa hal, fokus siswa
terhadap self menjadi komponen pokok bagi motivasi akademik yang
didasarkan pada pembenaran asumsi bahwa beliefs yang dibuat,
dikembangkan, dan dipegang oleh siswa menjadi benar tentang diri mereka sendiri
sebagai kekuatan yang sangat penting dalam keberhasilan atau kegagalan mereka
di sekolah.
Ada dua jenis self-beliefs
yang terutama dominan dalam penelitian motivasi yaitu self-efficacy dan self-concept
beliefs. Dalam makalah ini, akan diklarifikasi definisi self-efficacy
dan implikasi praktisnya dalam perilaku pebelajar di dunia pendidikan.
Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri
individu. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Self-efficacy
mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan
mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986)
Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan
penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu
tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Di samping itu, Schultz
(1994) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap
kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.
Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut,
dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau
kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk untuk mengorganisasi,
melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan
mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu.
Menurut Zimmerman (2000), keyakinan Self-efficacy akan
membuat siswa termotivasi untuk belajar melalui penggunaan pengaturan diri
sebagai proses penetapan tujuan, self-monitoring, evaluasi diri, dan strategi
yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bandura (1997) yang mengatakan
bahwa SE yang merupakan konstruksi sentral yang akan mempengaruhi seseorang
dalam pengambilan keputusan, dan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukannya.
Seseorang cenderung akan menjalankan sesuatu apabila ia merasa kompeten dan
percaya diri. Selain itu akan menentukan seberapa jauh upaya yang dilakukannya,
berapa lama ia bertahan apabila mendapat masalah, dan seberapa fleksibel dalam
situasi yang kurang menguntungkan. Makin besar SE seseorang, makin besar upaya,
ketekunan, dan fleksibilitasnya.
SE juga mempengaruhi pola pikir dan reaksi
emosionalnya. Seseorang dengan SE yang rendah akan mudah menyerah, cenderung
menjadi stres, depresi, dan mempunyai suatu visi yang sempit tentang apa yang
terbaik untuk menyelesaikan masalah itu. Sedangkan SE yang tinggi, akan
membantu seseorang dalam menciptakan suatu perasaan tenang dalam menghadapi
masalah atau aktivitas yang sukar.
Menurut Bandura (J. Strecher, V. Et al. , 1986), SE
memiliki tiga dimensi yaitu magnitude,strength dan generality. Setiap dimensi
ini memberi implikasi penting bagi performen seseorang.Magnitude mengacu pada
pengurutan tugas-tugas menurut tingkat kesulitannya. Strength mengacu pada
kepercayaan yang ada dalam diri seseorang yang dapat diwujudkan untuk meraih
performa tertentu. Generality mengacu pada keleluasaan dari SE yang dimiliki
seeorang yang dapat diterapkan dalam situasi lain.
L. Feltz dan D. Lirgg (2001) mengatakan bahwa
keyakinan SE tidak untuk melakukan penilaian tentang kemampuan seseorang secara
objektif, melainkan suatu penilaian tentang apa yang dapat dicapai seseorang
dengan keterampilan yang dimilikinya. Dengan kata lain, penilaian SE adalah apa
yang seseorang pikirkan tentang apa yang dapat ia lakukan, bukan apa yang ia
miliki. Selanjutnya dikatakan bahwa penilaian SE adalah produk dari sebuah
proses kompleks self-appraisal dan self-persuasi yang mengandalkan pengolahan
kognitif atas berbagai sumber informasi efficacy.
Menurut Bandura, Persepsi SE dapat dibentuk dengan
menginterpretasi informasi dari empat sumber yaitu: (1) Pengalaman otentik:
merupakan sumber yang paling berpengaruh, karena kegagalan atau keberhasilan
pengalaman yang lalu akan menurunkan atau meningkatkan SE seseorang; (2)
Pengalaman orang lain: merupakan sumber informasi yang diperlukan untuk membuat
pertimbangan tentang kemampuan diri sendiri; (3) Pendekatan sosial atau verbal:
merupakan pendekatan yang dilakukan dengan cara meyakinkan seseorang bahwa ia
memiliki/tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu; (4) Indeks psikologis:
merupakan status fisik dan emosi yang akan mempengaruhi kemampuan seseorang
(Zeldin, 2000).
Jadi dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah perasaan, keyakinan, persepsi, kepercayaan terhadap
kemampuan mengatasi suatu situasi tertentu yang nantinya akan berpengaruh pada
cara individu mengatasi situasi tersebut.
B. Manfaat Self-Efficiacy
Kecemasan dan stress yang terjadi dalam diri seseorang
ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya
seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak
diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan
somatik lainnya. Self-efficacy biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress
dan kecemasan sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress
dan kecemasan yang tinggi pula.
Bandura (1997) juga menyebutkan bahwa ada beberapa
manfaat dari self-efficacy yaitu terhadap:
a. Pilihan perilaku
Dengan adanya self-efficacy yang
dimiliki, individu akan menetapkan tindakan apa yang akan ia lakukan dalam
menghadapi suatu tugas untuk mencapai tujuan yang diiinginkannya.
b. Pilihan karir
Self-efficacy merupakan mediator yang
cukup berpengaruh terhadap pemilihan karir seseorang. Bila seseorang merasa
mampu melaksanakan tugas-tugas dalam karir tertentu maka biasanya ia akan
memilih karir tesebut.
c. Kuantitas usaha dan keinginan untuk
bertahan pada suatu tugas
Individu yang memiliki self-efficacy
yang tinggi biasanya akan berusaha keras untuk menghadapi kesulitan dan
bertahan dalam mengerjakan suatu tugas bila mereka telah mempunyai keterampilan
prasyarat. Sedangkan individu yang mempunyai self-efficacy yang rendah akan
terganggu oleh keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah menyerah bila
menghadapi kesulitan dalam mengerjakan tugas.
d. Kualitas usaha
Penggunaan strategi dalam memproses
suatu tugas secara lebih mendalam dan keterlibatan kognitif dalam belajar
memiliki hubungan yang erat dengan self-efficacy yang tinggi. Suatu penelitian
dari Pintrich dan De Groot menemukan bahwa siswa yang memiliki self-efficacy
tinggi cenderung akan memperlihatkan penggunaan kognitif dan strategi belajar
yang lebih bervariasi.
Sebuah penelitian telah menemukan bahwa ada hubungan
yang erat antara self-efficacy dan orientasi sasaran (goal orientasi).
Self-efficacy dan achievement siswa meningkat saat mereka menetapkan tujuan
yang spesifik, untuk jangka pendek, dan menantang. Meminta siswa untuk
menetapkan tujuan jangka panjang adalah hal yang baik seperti: “Saya ingin
malanjutkan ke perguruan tinggi”, tetapi akan sangat lebih baik kalau mereka
juga membuat tujuan jangka pendek tentang apa yang harus dilakukan seperti:
“Saya harus mendapatka nilai A untuk tes matematika yang akan datang”.
McCroskey (dalam Byers & Weber, 1995) pada
penelitiannya mengindikasikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat kecemasan
berbicara yang tinggi biasanya tidak dianggap secara positif oleh orang lain.
Mereka dianggap tidak responsif, tidak komunikatif, sulit untuk mengerti, tidak
memiliki ketertarikan sosial dan seksual, tidak homogen, tidak dapat dipercaya,
tidak berorientasi pada tugas, tidak suka bergaul, tidak suka menjadi pemimpin
dan tidak produktif dalam kehidupan profesionalnya. Hal ini jelas menunjukkan
bahwa tingkat kecemasan berbicara memberi pengaruh yang besar terhadap
keberhasilan seseorang.
Tingkat kecemasan berbicara ini sangat berkaitan
dengan self-efficacy seseoang sekaligus berkaitan dengan kemampuan komunikasi
matematik. Seseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mampu
mengurangi tingkat kecemasannya berbicaranya. Lebih lanjut berdampak terhadap
kemampuan seseorang tersebut dalam berdiskusi secara aktif dan kreatif,
responsif, dan komunikatif dalam menyampaikan ide-ide nya terkhusus dalam
bidang akademis. Hal ini senada dengan hasil penelitian Indi (2009) yang
menyebutkan bahwa semain tinggi self-efficacy mahasiswa maka akan semakin
rendah tingkat kecemasannya berbicara di depan umum, dan sebaliknya semakin
rendah self-efficacy mahasiswa maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum
akan semakin tinggi.
C. Dimensi Self-Efficacy
Self efficacy terdiri dari beberapa dimensi.
Dimensi self efficacy menurut Bandura (1997) dibedakan atas tiga dimensi.
Dimensi-dimensi self efficacy adalah sebagai berikut:
a. Level/Magnitude
Level/magnitude, yaitu penilaian kemampuan individu pada tugas yang sedang
dihadapinya. Dimensi ini mengacu pada tingkat kesulitan suatu masalah yang
dipersepsikan berbeda dari masing-masing individu. Ada yang menganggap masalah
itu sulit ada juga yang menganggap masalah itu mudah untuk dilakukan. Apabila
individu merasa sedikit rintangan yang dihadapi maka masalah tersebut mudah
ditangani.
b. Generality
Generality mengacu pada penilaian efficacy individu berdasarkan aktivitas
keseluruhan tugas yang pernah dijalaninya.
c. Strength
Strength mengacu pada ketahanan dan keuletan individu dalam menyelesaikan
masalah. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat tehadap kemampuannya untuk
menyelesaikan masalah akan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak
kesulitan dan tantangan.
D. Sumber-sumber Efficacy
Menurut Bandura sebagaimana dipublikasikan dalam
Wikipedia, ada empat sumber utama yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu
penguasaan atau pengalaman yang menetap, pengalaman yang dirasakan sendiri,
bujukan sosial, dan keadaan psikologis atau emosi. Keempat sumber tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, penguasaan atau pengalaman yang
menetap .Penguasaan atau pengalaman yang menetap adalah peristiwa masa lalu
atas kesuksesan dan/atau kegagalan yang dirasakan sebagai factor terpenting
pembentuk self-efficacy seseorang. “Kesuksesan meningkatkan nilai efficacy dan
pengulangan kegagalan yang lebih rendah terjadi karena refleksi kurangnya usaha
atau keadaan eksternal yang tidak cocok”. Perasaan efficacy yang kuat mungkin
dapat dikembangkan melalui pengulangan kesuksesan. Adapun dalam kegagalan,
orang cenderung menganggap asal kegagalan pada beberapa faktor eksternal
seperti usaha yang tidak cukup atau strategi yang tidak tepat.
Usaha dalam melaksanakan tugas merupakan faktor lain
yang mempengaruhi efficacy. Ketika seseorang mengeluarkan usaha yang besar
dalam melaksanakan tugas yang dirasakan sulit, kesuksesan tidak akan dengan
kuat mempengaruhi self-efficacy seseorang di mana kegagalan akan meruntuhkan
self-efficacynya. Sebaliknya, performan yang rendah dengan derajat usaha yang
lemah memiliki sedikit dampak pada keyakinan self-efficacy seseorang, tetapi
kesuksesan dengan sedikit usaha membawa performansi mereka pada tingkat
selfefficacy yang tinggi.
Kedua, pengalaman yang rasakan sendiri. Seseorang
terkadang membuat judgement tentang kemampuannya sendiri dengan memperhatikan
orang lain yang mengerjakan tugas tertentu yang serupa. Kesuksesan orang lain
mengindikasikan bahwa mereka sendiri dapat mengerjakan tugas yang sama,
sementara kegagalan orang lain mungkin mengidentifikasi mereka tidak
mengerjakan tugas. Orang membuat perbandingan dengan orang lain dalam hal usia,
jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi, penandaan etnik, dan
prediksi kemampuan sendiri mereka dalam mengerjakan tugas.
Dalam penelitian tentang pengaruh pengalaman yang
dialami sendiri terhadap self-efficacy, Schunk dan Hanson menyelidiki bagaimana
self-efficacy anak-anak dan prestasi mereka dipengaruhi oleh observasi mereka
terhadap model teman sebaya (peer models). Siswa yang memiliki pengalaman
berupa kesulitan dalam pengurangan belajar (learning subtraction) dikelompokkan
secara random, dan setiap kelompok, baik yang mengobservasi demonstrasi teman
sebaya atas perolehan keterampilan pengurangan (subtraction skills), yang
mengobservasi model guru yang mendemonstrasikan operasi pengurangan
(subtraction operations), maupun yang tidak mengobservasi model sama sekali.
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa baik model teman sebaya dan model guru
menghasilkan self-efficacy yang lebih tinggi dan prestasi yang lebih tinggi
dibanding kelompok kontrol yang tidak mengobservasi model sama sekali. Model
teman sebaya membawa self-efficacy yang lebih tinggi dan prestasi yang lebih
tinggi dari pada model guru.
Meski tidak sebesar pengaruh seperti pada mastery
experinece (past experience), modeling ini berpengaruh sangat kuat pada
self-efficacy ketika seseorang, terutama sekali, tidak meyakini dirinya
sendiri. Kesimpulan ini juga dicapai oleh Keyser dan Barling. Dibandingkan
dengan anak-anak lain, anak-anak yang lebih muda lebih mempercayakan modeling
sebagai sumber informasi berkenaan dengan keyakinan self-efficacy mereka.
Keyser dan Barling mengasumsikan bahwa pemenuhan performan sendiri anak-anak
mungkin tercapai
lebih mempengaruhi sebagai sumber self-efficacy
seperti anak yang menjadi lebih tua. Argumen ini didukung oleh Wang dan
RiCharde yang melaporkan bahwa performansi secara signifikan mempengaruhi
keyakinan self-efficacy kelas empat, dan tidak pada keyakinan selfefficacy
kelas dua.
Ketiga, bujukan sosial. Penilaian diri
(self-appraisals) atas kompetensi sebagian didasarkan pada opini (penilaian)
lain yang signifikan yang agaknya memiliki kekuatan evaluatif. Orang yang
dibujuk secara verbal yang memiliki kemampuan untuk memenuhi tugas yang
diberikan adalah lebih mungkin tetap melakukan (tugas) lebih lama ketika
dihadapkan pada kesulitan dan lebih tetap mengembangan perasaan self-efficacy.
Peningkatan keyakinan yang tidak realistik atas self-efficacy seseorang
bergandengan dengan kegagalan ketika mengerjakan tugas, akan tetapi, hanya akan
kehilangan kepercayaan pembujuk dan lebih jauh mengikis self-efficacy yang
dirasakan seseorang.
Persuasi sosial ini berkenaan dengan
dorongan/keputusasaan. Persuasi positif meningkatkan self-efficacy, sedangkan
persuasi negative menurunkan self-efficacy. Secara umum lebih mudah menurunkan
selfefficay seseorang dari pada meningkatkannya
Dalam rangka menguji pengaruh penilaian yang akurat
terhadap keyakinan self-efficacy siswa, Schunk melakukan studi terhadap
anakanak usia 9 hingga 11 tahun. Umpan balik yang benar ditemukan untuk
meningkatkan perasaan self-efficacy anak-anak yang telah mengalami kegagalan
yang amat sangat dalam matematika. Selain itu, Keyser dan Barling mencatat
bahwa kegiatan yang terus menerus daripada menunda atau umpan balik yang
sebentar-sebentar berkenaan dengan kecukupan performan adalah berpengaruh pada
keyakinan self-efficacy siswa.
Keempat, keadaan psikologis atau emosi. Biasanya,
dalam situasi yang penuh tekanan, umumnya orang menunjukkan tanda susah,
guncang, sakit, lelah, takut, muak, dan seterusnya. Persepsi seseorang atas
respon ini dapat dengan jelas mengubah self-efficacy seseorang. Keputusan
self-efficacy pribadi seseorang dipengaruhi oleh perasaan dibanding dengan
penggerakan yang sebenarnya atas pemunculan dalam situasi yang mengandung
risiko.
Selain itu, termasuk dalam aktivasi psikologis,
suasana hati (mood) juga mempengaruhi perasaan self-efficacy, karena suasana
hati menggerakkan memori seseorang. Kesuksesan dan kegagalan masa lampau
disimpan sebagai memori. Suasana hati positif menggerakkan pemikiran atas
prestasi masa lalu, sedangkan suasana hati negative menggerakkan memori atas
kegagalan masa lalu. Kesuksesan di bawah suasana hati positif menghasilkan
tingkat self-efficacy yang tinggi. Kegagalan di bawah suasana hati negatif,
bagaimana pun, membawa keyakinan self-efficacy yang rendah. “Orang yang gagal
di bawah suasana hati yang gembira menaksir terlalu tinggi kemampuan mereka.
Orang yang sukses di bawah suasana hati yang sedih menaksir terlalu tinggi
kemampuan mereka.
Pembahasan tersebut menyimpulkan bahwa terdapat empat
sumber utama keyakinan self-efficacy seseorang dari perspektif kognitif sosial.
Para peneliti memberikan faktor tambahan yang mempengaruhi keyakinan
self-efficacy siswa, yaitu minat siswa, peran guru, kompleksitas tugas yang
dibutuhkan, performansi pebelajar, perbandingan dengan pebelajar lain, dan
usaha yang dikerahkan dalam tugas, sebagaimana dalam hasil penelitian Huang dan
Chang.
E. Proses-Proses Self-Efficacy
Bandura (1997)
menguraikan proses psikologis self-efficacy dalam mempengaruhi fungsi
manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara dibawah ini :
a.
Proses kognitif
Dalam melakukan
tugas akademiknya, individu menetapkan tujuan dan sasaran perilaku sehingga
individu dapat merumuskan tindakan yang tepatuntuk mencapai tujuan tersebut.
Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan
kemampuan kognitifnya.
Fungsi kognitif
memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian sehari-hari yang akan
berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah
semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih
mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung
individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Individu
akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang
mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses kognitif yang efektif
dari berbagai macam informasi.
b. Proses motivasi
Motivasi
individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan
tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan menetapkan
keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan
direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif yang dibangun dari
beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal dari teori atribusi dan
pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai-pengharapan.
Self-efficacy mempengaruhi atribusi penyebab, dimana individu yang
memiliki self-efficacy akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam
mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan individu
dengan self-efficacy yang rendah menilai kegagalannya disebabkan oleh
kurangnya kemampuan.
Teori
nilai-pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan akan hasil (outcome
expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut. Outcome
expectation merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu
akan menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut mengandung
keyakinan tentang sejauhmana perilaku tertentu akan menimbulkan konsekuensi
tertentu. Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari
konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku dilakukan. Individu
harus memiliki outcome value yang tinggi untuk mendukung outcome
expectation.
c. Proses afeksi
Afeksi terjadi
secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan intensitas
pengalaman emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan
depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
Proses afeksi
berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu terhadap kemampuannya
mempengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas
yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya mampu
mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu.
Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami
kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut.
d. Proses seleksi
Proses seleksi
berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan
lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu
tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau
situasi sulit. Self-efficacy dapat membentuk hidup individu melalui
pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan
aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu menangani.
Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang
ditentukan.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses self-efficacy
meliputi proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi, dan proses
seleksi.
F. Implikasi terhadap Pendidikan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa
self-efficacy merupakan judgement seseorang atas kemampuannya untuk
merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan
tertentu. Self-efficacy mengacu pada “keyakinan (beliefs) dan kemampuan
seseorang untuk mengorganisasi dan melaksanakan tindakan untuk pencapaian hasil
yang diberikan”. Dengan kata lain, selfefficacy adalah keyakinan penilaian diri
berkenaan dengan kompetensi seseorang untuk sukses dalam tugas. Menurut
Bandura, keyakinan self-efficacy merupakan faktor kunci sumber tindakan manusia
(human egency), “apa yang orang pikirkan, percaya, dan rasakan mempengaruhi
bagaimana mereka bertindak.” Karena hubungan kausal antara bangunan diri (self
construction) dan prestasi adalah reciprocal maka perilaku akademik pebelajar
merupakan fungsi atas keyakinan yang mereka pedomani tentang diri mereka
sendiri dan tentang potensi akademik mereka. Oleh karena itu, kesulitan yang
dihadapi pebelajar dalam keterampilan akademik dasar sering secara langsung
berhubungan dengan keyakinan bahwa mereka tidak dapat belajar-- membaca,
menulis, menjumlah, atau berpikir dengan baik—meskipun sesuatu itu tidak secara obyektif benar.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa banyak pebelajar memiliki kesulitan dalam
sekolah bukan karena mereka tidak dapat mengerjakan dengan berhasil, tetapi
karena mereka percaya bahwa mereka tidak dapat mengerjakannya dengan sukses.
G. Self-Efficacy
dalam Pembelajaran Matematika
Pada hakikatnya matematika bersifat
abstrak. Oleh karena itu, pelajaran matematika dirasakan momok dan sulit bagi
sebagian besar siswa. Untuk membangkitkan minat dan rasa senang siswa terhadap
pelajaran matematika, tentu diperlukan menanamkan rasa percaya diri yang kuat
dalam mempelajari atau dalam mengerjakan soal/masalah matematika.
Self-Efficacy matematika diartikan
sebagai kepercayaan diri siswa terhadap kemampuan merepresentasikan dan
menyelesaikan masalah matematika, cara belajar/bekerja dalam memahami konsep
dan menyelesaikan tugas, dan kemampuan berkomunikasi matematika dengan teman
sebaya dan pengajar selama pembelajaran. Untuk mengembangkan kemampuan
tersebut, guru haruslah melatihkan kepada siswa bahwa dalam menyelesaikan
soal/masalah matematika perlu adaanya menguji jawabannya, perlu diberikan
berbagai cara atau strategi dalam
menyelesaikan soal matematika.
Seseorang yang mempunyai Self-Efficacy
tinggi, tentu memiliki rasa percaya diri yang tinggi sekaligus mengenal dirinya
dengan baik. Percaya diri dan kenal diri sangat erat kaitan dalam belajar
matematika. Seorang siswa dapat menyelesaikan soal matematika dengan benar
tentu siswa tersebut percaya diri akan dapat menyelesaikan soal matematika
tersebut. Untuk dapat percaya diri dalam menyelesaikan soal matematika, maka
siswa akan terlebih dulu mengenal karakteristik soal tersebut.
Agar dapat mengembangkan Self-Efficacy matematika,
pembelajaran matematika dapat dilakukan melalui metode atau pendekatan yang
dapat melatih kemandirian belajar. Dengan kemandirian belajar dapat
mengembangkan rasa kepercayaan diri dalam mengerjakan soal maupun dalam
mengikuti pelajaran matematika. Peran guru sangat penting dalam memunculkan
Self-Efficacy matematika siswa, terutama dalam merancang pembelajaran
sedemikian rupa sehingga sumber-sumber Self-Efficacy siswa bisa muncul.
Pengalaman otentik (authentic mastery experiences) dan pengalaman orang lain
(vicarious experience) dapat uncul apabila siswa diberikan kesempatan untuk
mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas. Oleh karena itu, guru perlu
mempersiapkan strategi pembelajaran matematika yang memungkinkan siswa untuk
tampil di depan kelas untuk menyampaikan pendapat dan gagasannya. Kalau siswa
berani menyampaikan pendapatnya di depan kelas, tentu siswa tersebut akan
mempunyai Self-Efficacy dan kepercayaan diri. Self-Efficacy yang dimiliki siswa
yang maju ke depan kelas tersebut akan mempengaruhi siswa yang lain yang di
kelas. Dengan kata lain siswa yang mengikuti presentasi akan mengembangkan
Self-Efficacynya. Pada sisi lain, sumber Self-Efficacy yang ketiga dan keempat,
yaitu pendekatan sosial atau verbal dan indeks psikologis dapat dimunculkan
melalui kerja sama dalam kelompok dan memberikan penghargaan atau penguatan
kepada siswa.
Seseorang mempunyai Self-Efficacy
tinggi, tentu memiliki rasa percaya diri yang tinggi sekaligus mengenal dirinya
dengan baik. Percaya diri dan kenal diri sangat erat kaitan dalam belajar
matematika. Seorang siswa dapat menyelesaikan soal matematika dengan benar
tentu siswa tersebut percaya diri akan dapat menyelesaikan soal matematika
tersebut. Dia akan selalu optimis dan merasa bisa atau mampu dalam
menyelesaikan soal tersebut. Perasaan rasa mampu tersebut menunjukkan bahwa
siswa mempunyai Self-Efficacy. Siswa yang mempunyai Self-Efficacy akan mempunyai kemandirian,
kerja keras dan selalu berusaha untuk tidak mudah menyerah untuk menyesaikan
sustu soal matematika.
Untuk mengetahui seberapa Self-Efficacy
siswa dalam menyelesaikan soal matematika, berikut ini diberikan contoh.
Guru memberikan soal : ”Tentukan
penyelesaian dari sistem persamaan linear berikut:
2x + 3y = 7 dan 3x
+ 5y = 11
Setelah diberikan waktu untuk
mengerjakan soal tersebut, misalkan ada tiga siswa yang menyelesaikannya
masing-masing sebagai berikut.
Siswa-1: setelah menyelesaikan soal itu
dan diyakini benar, maka siswa1 langsung kumpul.
Siswa-2: setelah selesai mengerjakan
soal, kemudian dia memeriksa jawabannya agar diyakini betul, baru mengumpulkan
pekerjaannya.
Siswa-3: mengerjakan soal tersebut
dengan menggunakan dua cara penyelesaian dan kedua jawaban itu betul. Di
samping itu, dia juga memeriksa kembali kebenaran jawabannya, setelah itu baru
dikumpulkannya.
Dari ketiga jawaban siswa itu, kita
dapat mengatakan bahwa siswa-3 mempunyai Self-Efficacy yang lebih tinggi. Hal
ini disebabkan kepercayaan diri akan benar atas jawaban soal matematika tinggi.
Hal ini ditunjukkan dengan menyelesaikan jawaban dengan dua metode/cara, serta
memeriksa ulang jawabannya. Begitu juga Self-Efficacy siswa-2 lebih baik
dibandingkan dengan siswa-1.
Apabila seorang siswa dalam
menyelesaikan soal matematika dengan berbagai cara/strategi dan selalu
menginginkan tantangan dengan soal lain yang sulit hal ini menunjukkan
Self-Efficacy nya tinggi. Karena seorang yang memiliki Self-Efficacy itu
menandakan seseorang akan belajar terus walaupun dia sudah lulus
Schoenfeld (Chatzistamatiou dan Dermitzaki, tt), salah
satu aspek penting dari kompetensi matematika adalah keterampilan self
regulatory (pengaturan diri). Self regulatory mengandung sebuah aspek atau
proses penting dalam sistem kepercayaan diri siswa yang disebut dengan self
efficacy.
Self efficacy matematis didefinisikan
sebagai suatu penilaian situasional dari suatu keyakinan individu dalam kemampuannya untuk berhasil membentuk atau menyelesaikan
tugas-tugas atau masalah-masalah matematis tertentu (Firmansyah dan Fauzi,
2011).
H. Peran guru dalam menumbuhkembangkan self efficacy
matematis siswa
Self efficacy dapat bersumber dari verbal persuasion.
Implikasinya adalah bahwa seorang guru perlu hati-hati dalam memberikan komentar
kepada siswanya, jangan sampai ia memberikan komentar yang dapat menurunkan
self efficacy siswanya,
Self efficacy juga bersumber dari emotional arousal,
sehingga implikasinya seorang guru matematika harus dapat menciptakan suasana
yang nyaman sehingga emosi siswa jadi terkontrol dan ia dapat mengikuti
pembelajaran dengan tenang. Suasana nyaman, emosi yang terkontrol akan
meningkatkan konsentrasi dalam belajar, dan akan berakibat pada penguasaan
konsep yang akhirnya diperkirakan akan menumbuhkan self efficacy yang tinggi.
Menurut Winataputra, dkk (2008: 4.31), ada dua cara
yang dapat dilakukan oleh guru tersebut.
v
Pertama, guru harus selalu mengajak siswa untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang sulit dengan memcontohkan kegiatan itu sedemikian rupa
sehingga siswa dapat belajar untuk memperkirakan kemampuan apa yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Misalnya, dalam menyelesaikan soal
cerita, guru sebaiknya tidak menggunakan jalan pintas sehingga siswa merasa
bahwa soal tersebut lebih mudah daripada kenyataannya.
v
Kedua, guru sebaiknya mendemonstrasikan
teknik-teknik yang sangat efektif dalam mengatasi aspek-aspek dari kegiatan
tersebut yang mungkin menakutkan bagi siswa sehingga siswa dapat belajar
mengendalikan ketakutan mereka dalam situasi-situasi sejenis dan dapat
mengatasi cara takut tersebut dengan cara baik. Misalnya, jika ada cara bagi
siswa untuk mengecek hasil kerjanya saat mereka berusaha menyelesaikan soal
matematika yang sulit, maka sebaiknya guru menunjukkan cara pengecekan
tersebut.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dalam makalah ini
dapat disimpulkan bahwa pengertian Self-efficacy berdasarkan pendapat Bandura
pada tahun 1981 (Pajares & Schunk, 2001:1) adalah penilaian seseorang
terhadap kemampuannya dalam mengorganisir, mengontrol, dan melaksanakan
serangkaian tingkah laku untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Tapi di
Indonesia sendiri, banyak di antara para pendidik, khususnya dibidang
matematika belum sadar bahkan belum mengetahui fakta bahwa salah satu aspek
psikologi yang dinamakan self efficacy ini dapat mempengaruhi pencapaian
prestasi seorang siswa. Semakin
tinggi self eficacy yang dimiliki seorang siswa, maka akan semakin baik
prestasi yang mampu dicapainya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah self
efficacy yang dimiliki seorang siswa, maka akan semakin rendah pula prestasi
yang mampu dicapai siswa tersebut.
Menurut Zimmerman (2000), keyakinan
Self-efficacy akan membuat siswa termotivasi untuk belajar melalui penggunaan
pengaturan diri sebagai proses penetapan tujuan, self-monitoring, evaluasi
diri, dan strategi yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bandura
(1997) yang mengatakan bahwa SE yang merupakan konstruksi sentral yang akan
mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan, dan mempengaruhi tindakan
yang akan dilakukannya. Seseorang cenderung akan menjalankan sesuatu apabila ia
merasa kompeten dan percaya diri. Selain itu akan menentukan seberapa jauh
upaya yang dilakukannya, berapa lama ia bertahan apabila mendapat masalah, dan
seberapa fleksibel dalam situasi yang kurang menguntungkan.
Selanjutnya dapat kita fahami bahwa Dimensi
self-efficacy meliputi (1) Magnitude; (2) Strength; dan (3) Generality. Sementara
source dari self efficay itu meliputi (1) Pengalaman akan kesuksesan; (2)
Pengalaman Individu lain; (3) Persuasi Verbal; dan (4) Keadaan Psikologis dari
Individu tersebut.
Kesimpulan terakhir bahwa Proses
pembentukan self efficacy itu terjadi melalui (1) Proses Kognitif; (2) Proses Motivasi;
(3) Proses Afeksi; dan terakhir (4) Proses Seleksi
B. Saran
Hendaknya guru dapat meningkatkan self efficacy siswa,
karena self efficacy merupakan
salah satu faktor yang menunjang siswa sukses dalam proses belajarnya.
(http://renafadilahm.blogspot.com/2015/03/self-efficacy.html)
Langganan:
Postingan (Atom)